Tinta dan tawa

Table of Contents

Menjadi seorang sastrawan sekaligus komedian merupakan cita-cita mulya bagiku. Kenapa tidak, aku terlahir dari kedua orangtua yang berprofesi sebagai penulis dan pelawak. Bakat itu mengalir deras dalam darahku. Sejak kecil, aku sudah senang menulis cerita pendek dan membuat teman-temanku tertawa dengan leluconku.

 

Namun, di balik semangatku yang meluap, ada juga rasa ragu yang menghantuiku. Aku sering bertanya-tanya, apakah aku bisa menggabungkan kedua minatku ini dengan baik? Apakah aku akan dianggap aneh oleh teman-teman sekelasku yang lebih suka bermain bola atau bergosip?

 

Keraguan itu perlahan sirna ketika aku menemukan sebuah komunitas menulis online. Di sana, aku bertemu dengan banyak orang yang memiliki minat yang sama denganku. Mereka menyemangatiku untuk terus berkarya dan mengejar mimpi.

 

Saat mengikuti perlombaan esai tingkat kecamatan pertama kali, aku gugup bukan main. Tangan dan kakiku gemetar saat naik ke atas panggung untuk membacakan esai karyaku. Namun, melihat senyuman bangga di wajah ayahku, aku berusaha sekuat tenaga untuk tampil percaya diri.

 

Perlombaan demi perlombaan kulalui, baik lomba menulis maupun lomba stand-up comedy. Ada kalanya aku meraih juara, ada kalanya aku hanya menjadi peserta. Namun, dari setiap pengalaman itu, aku belajar banyak hal. Aku belajar bagaimana cara menulis dengan lebih baik, bagaimana cara menyusun materi stand-up yang lucu, dan yang terpenting, aku belajar untuk percaya diri.

 

Salah satu pengalaman paling berkesan adalah saat mengikuti lomba stand-up comedy tingkat kabupaten. Tema yang diberikan adalah tentang pentingnya menjaga lingkungan. Aku merasa sangat tertantang untuk membuat materi yang tidak hanya lucu, tetapi juga menginspirasi. Setelah berhari-hari mencari referensi dan menyusun materi, akhirnya aku berhasil menciptakan sebuah penampilan yang menurutku cukup menghibur.

 

Pada hari lomba, panggung terasa sangat luas dan lampu sorot terasa sangat menyilaukan. Namun, ketika melihat wajah-wajah penonton yang antusias, rasa gugupku seketika hilang. Aku memberikan penampilan terbaikku, membawakan materi dengan penuh semangat dan diselingi dengan beberapa improvisasi.

 

Saat pengumuman pemenang, jantungku berdebar kencang. Dan ternyata, namaku dipanggil sebagai juara pertama! Aku tidak menyangka bisa meraih prestasi sebesar ini. Air mataku menetes membasahi pipi, bukan karena sedih, tetapi karena rasa syukur yang begitu dalam.

 

Aku membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku bisa menggabungkan kedua minatku ini. Aku tidak perlu memilih antara tinta dan tawa, karena keduanya bisa hidup berdampingan dalam diriku. Aku akan terus berkarya dan berusaha untuk menginspirasi orang lain dengan kata-kataku dan tawaku.

 

Penulis: Izhar


Posting Komentar