Damai di ujung malam

Table of Contents

Mendung bergulung membawa kecemasan di hati Sekar. Pasalnya, sudah 1 jam lebih dia menunggu angkutan Bus Trans di kotanya, belum tiba-tiba juga. Sesekali didengarnya jam di ponsel, sudah pukul 19.30 lebih. Jalanan perlahan sepi, sedangkan jarak yang harus ditempuhnya masih jauh. Tanpa teman, lagi.

 

Sekar memejamkan mata, bersandar di sandaran bangku halte yang keras dan dingin sejenak. Berharap lelahnya mereda. Dia tak mau mengikuti mendung kecemasan yang sebenarnya sudah menyesaki hatinya sejak tadi. Cemas kalau bayangan masa lalu itu datang lebih mengerikan. Bayangan yang ingin dilawannya, entah bagaimanapun caranya.

 

Pelan, terngiang di telinganya, suara-suara ejekan dari kawan sekolahnya. Kalimat-kalimat yang seolah menjelma hantu dalam mimpi-mimpinya kembali menyapa. "Kamu itu buta! Kamu itu tidak layak bersama kami! Kamu itu pantas dikucilkan! Kamu itu baiknya tidak di dunia yang indah ini!" Merembang berkaca-kaca mata Sekar. Meskipun tidak bisa dipungkiri, ada kalimat-kalimat nasehat, ujaran penyemangat dari seorang senior yang dihormati yang menyertai bayangan buruk itu.

 

Sekar menggelengkan kepala, mengusir hal-hal yang memusingkan itu. Tanpa ragu, dia menengok lagi jam di ponsel. "Ya Allah, kapan datang? Apa sebaiknya aku memenuhi tawaran Hamidah buat menginap di kost-nya saja, ya," gumamnya bingung. "Soalnya sampai jam segini, belum datang juga, eh!" Sekar hendak beranjak berdiri. Namun, terdengar geram suara mesin mendekat diiringi teriakan seorang kondektur perempuan yang menyebutkan jalur destinasi. "Alhamdulillah."

 

Gadis cantik berjilbab biru tua, berkemeja merah batik, rok panjang hitam semata kaki, dan mengenakan tas selempang ini lekas menggerakan tongkat lipatnya untuk bergerak memasuki bus. Dengan dibantu si kondektur, mempercepatnya untuk masuk dan menemukan kursi penumpang yang letaknya paling nyaman. "Terminal Ngabean ya, Bu?" Sekar menyodorkan kartu e-money dan diterima oleh kondektur sebagai alat pembayaran.

 

"Baik, ini kartunya, Mbak," ucap ibu petugas kondektur itu dengan ramah. Selama dalam perjalanan, Sekar lebih menyibukan diri dengan tidur-tidur ayam, jadi kesadarannya masih terjaga untuk mengikuti suara pemberitahuan dari bus yang menyebutkan nama-nama setiap tempat pemberhentian. Kurang dari 1 jam 30 menit, akhirnya Sekar sampai di kost di belakang di sebuah gereja bernama Hati Kudus.

 

Gadis itu langsung tersungkur kelelahan di kasur tipisnya. Tentu sesudah melakukan aktivitas rutinnya. Bersih-bersih, menyantap hidangan yang dibelinya di sekitaran kampus, dan memastikan informasi perkuliahan esok hari di grup WhatsApp. Seperti biasa juga, dia merenungi banyak hal sebelum terlelap. Tak terelakan, bayangan masa lalu itu kembali menyergap.

 

"Ya Tuhan! Tolong hamba-Mu ini!" Sekar terisak-isak menangis dalam ketakutan. Sepi kembali merayapi hatinya. Perasaan sebatang kara dan tidak berdaya kembali menghunjam pedih dalam jiwa. Berbaur dengan kerinduan pada saat dia masih tinggal di asrama. Waktu yang sungguh indah, karena masih banyak yang memahami segenap rasa yang dicurahkannya.

 

Sayangnya, sekitar 5 tahun lalu, peristiwa menyedihkan terjadi. Pihak pengurus lembaga menurunkan keputusan agar para warga asrama yang sudah mahasiswa, tidak ada banyak kepentingan, dan tidak peduli itu anak yatim atau bukan, diharapkan untuk keluar. Katanya sih, supaya tidak menambah beban anggaran dan tempat.

 

Masalahnya bagi Sekar, tidak hanya itu. Pada suatu malam, dia diberitahu dengan cara yang tidak baik-baik, bahwa paginya harus pergi. Mau tidak mau, gadis ini berkemas seadanya, tidak ada persiapan, dan akhirnya selepas subuh melangkah pergi dengan perasaan putus asa. Siapa yang harus dituju? Siapapun tidak lagi dimilikinya. Hidup di kota ini juga sedari kecil. Tidak ada sedikitpun juga ingatan tentang keluarga.

 

Sialnya, di tengah perjalanan dia mengalami kenaasan, 3 orang preman bertampang seram karena bekas luka di muka tidak cuma memalak uang, tapi juga melecehkannya. Kalau saat dirundung di sekolah, Sekar masih mampu melawan dengan pukulan dan merekam seadanya. Tetapi, pada kali ini, dia benar-benar tidak berdaya. Ketiga preman ini sudah menyudutkannya di pojok dinding, pada sebuah gang kecil, yang jarang dilalui orang.

 

Pada waktu itu, akhirnya Sekar tidak kuasa membela dirinya. Dia harus rela mendapat penyiksaan, baik fisik maupun batin dari ketiga orang berjiwa kelam itu. Tidak diingatnya, berapa kali dia pingsan, berapa kali dia tersadar. Yang pasti, saat tersadar pada sekian kali, dia menyadari sudah berpindah tempat.

 

Ruangan yang menenangkan hati. Sejuk udaranya, lega tempat pembaringannya. Yang terpenting, tidak ada lagi ketiga orang keji itu. Namun, Sekar menyadari, bahwa tasnya sudah tidak ada.

 

Gadis itu mulai terisak menangis. Lagi-lagi tidak kuasa tangannya bergerak. Selain karena selang inpus, rasa lemah yang menjalar juga merayapi. Dalam sela tangisnya, Sekar banyak berpikir penuh kecemasan.

 

Bagaimana dengan studinya? Apakah masih tetap bisa berlanjut? Dengan kehilangan uang tabungan dari prestasinya selama bertahun-tahun, laptop dan gawai, dompet berisi banyak identitas diri, dan barang-barang lain, hidup sebagai mahasiswa di dunia kampus yang tuntutan akademisnya tinggi akan terasa mustahil. Tanpa disadari, waktu itu dia terlelap karena letih dan sakit masih menjalari fisik dan batinnya.

 

Kembali ke saat ini, Sekar sedikit tersenyum, belajar mengiklaskan semua itu. Dia berusaha untuk mengingat-ingat, sesudah hal tergelap dalam hidupnya itu, dia mampu kembali bangkit di bawah naungan seorang pastur yang tidak berhenti menolongnya, tetapi juga bersikap kebapakan. Biarpun harus menjalani banyak proses penyembuhan fisik dan mental, meninggalkan dunia kampus lamanya, serta sekarang harus berpindah di salah sebuah kampus swasta, gadis itu tidak berhentinya bersyukur. Berkat jasa ayah angkat yang telah tiada 2 tahun lalu itu karena kanker di lambungnya, dia mulai bisa menerima diri biarpun tidak sepenuhnya dan bisa memperoleh beasiswa meskipun nilainya belum setaraf saat sebelum peristiwa keji itu.

 

Sekar akhirnya bisa tertidur lelap. Mimpi yang dialaminya sedikit lebih baik. Mungkin karena penerimaan diri yang mulai dirasakannya barusan. Mungkin juga karena bersyukur. Atau, karena mengingat-ingat segala nasehat dari orang-orang yang dihormatinya selama 25 tahun terakhir dia hidup.

 

Bantul, 5 September 2024

 

Akbar AP


Posting Komentar