terharu, setelah mengetahui alsan dibalik kenakalan bocah SD ini
Aku,
guru baru di SD Pertiwi, sebuah sekolah dasar di pelosok desa yang sangat jauh
dari keramaian kota. Meski jauh dari kota asalku, aku sangat antusias menjalani
peran baru sebagai seorang pendidik. Darah guru memang mengalir deras dalam
keluarga besarku. Ayah dan ibuku adalah guru, paman dan bibi dari pihak ayah
maupun ibu juga banyak yang menjadi guru, bahkan sepupuku juga telah lebih dulu
memilih profesi sebagai guru. Jadi bisa dikatakan keluargaku adalah keluarga
guru.
Beberapa
minggu mengajar di SD Pertiwi, aku sudah langsung menghadapi sebuah masalah
yang menurutku pelik. Cukup pelik untukku yang masih menyandang sebagai guru
baru. Ada seorang anak yang terkenal sangat nakal, namanya Anton, dan dia
berada di kelas 6. Anehnya, Anton ini berubah jadi nakal baru-baru ini saja.
Sebelumnya, dia sama sekali bukan anak yang bermasalah. Menurut cerita para
guru, sejak 6 bulan terakhir ini, Anton sering sekali mengusili teman-temannya.
Bahkan tak jarang ada yang sampai menangis karena kejahilan bocah itu. Dia juga
suka membuat gaduh di kelas sehingga mengganggu proses belajar mengajar. Karena
kenakalan dan perilakunya, beberapa orang tua murid merasa kurang nyaman
anak-anak mereka satu kelas dengan murid yang super jahil, bahkan sudah masuk
kategori nakal. Pernah pula ada orang tua murid yang terang-terangan meminta
kepada sekolah agar mengeluarkan Anton. Kepala sekolah dan guru pun mengalami
kondisi dilematis. Di satu sisi, mereka merasa sayang untuk mengeluarkan Anton.
Namun, di sisi lain, Anton termasuk murid yang paling cerdas. Sejak kelas 1,
dia selalu menjadi juara di kelasnya. Nilai-nilai rapotnya pun selalu mendekati
angka sempurna, dan itu semua bukan dari hasil mencontek melainkan usahanya
sendiri. Jika ada lomba-lomba antar sekolah, seperti cerdas cermat atau
olimpiade sains, Anton selalu jadi andalan dan prestasinya pun tak pernah
mengecewakan. Dia selalu berhasil menyabet juara di berbagai lomba yang
diikuti. Oleh karena itu, pihak sekolah tidak sampai hati untuk memberhentikan
Anton dari sekolah. Mereka lebih memilih pendekatan persuasif kepada para orang
tua yang suka protes itu agar mau memaklumi kenakalan Anton. Bahkan pihak
sekolah merasa kenakalannya juga masih dalam batas wajar nakalnya anak-anak.
Akan tetapi, ternyata tidak mudah. Tetap saja pihak sekolah terus-menerus
mendapat tekanan dari sebagian orang tua teman-teman Anton yang menginginkan
bocah itu dikeluarkan dari sekolah. Anton bisa berpengaruh buruk pada anak-anak
lain, begitu argumen mereka.
Hingga
suatu ketika, aku mengalami sendiri kenakalan Anton. Aku mendapat bagian
mengajar menjelang jam terakhir pelajaran. Ketika aku baru saja sampai di
kelas, Anton sudah terlihat bertingkah. Dia memukul-mukul mejanya dengan keras
sehingga suasana kelas menjadi gaduh. Tak berhenti di situ, ketika aku sedang
menerangkan pelajaran, dia berteriak-teriak tak karuan. Aku dengar, biasanya
jika Anton sudah bertingkah begitu, guru-guru lain pasti mengusirnya keluar
kelas atau menyuruhnya pulang duluan supaya kelas tidak gaduh. Dan biasanya
Anton dengan senang hati segera berlari meninggalkan kelas. Namun aku tidak
melakukan itu. Jangankan mengusir, aku bahkan membiarkan Anton terus
bertingkah. Aku memilih berhenti menerangkan pelajaran, kemudian menulis
beberapa kalimat di papan tulis dan menyuruh anak-anak untuk menyalinnya ke
buku masing-masing. Di sela-sela jam pelajaran, aku memperhatikan anak itu.
Anton selalu tampak gusar, lalu dengan gestur gelisah celingak-celinguk keluar
jendela. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Aku tetap berpura-pura tidak
mempedulikannya, namun sudut mataku tetap mengawasi gerak-geriknya. Tiba-tiba,
dia meraih tasnya lalu dengan kalap memukul-mukulkannya ke tubuh Amir, teman
sebangkunya. Amir yang sedang menulis pun jelas saja terkejut. Dia coba
menangkis gebukan bertubi-tubi tersebut dengan kedua tangannya. Aku pun tak
kalah terkejut, lalu mendekati mereka.
"Anton!
Anton! Hentikan!" bentakku sambil mencekal bahu anak itu dan menariknya
mundur dari Amir yang tampak tak senang tiba-tiba dipukuli. "Kamu duduk di
meja Bapak cepat, dan Amir, Ayo duduk lagi selesaikan tugasmu," perintahku
pada kedua bocah itu. Amir segera mematuhi perintahku, namun tidak dengan
Anton. Sempat terlihat wajahnya tenang setelah aku tarik tadi dan terlihat ada kesan
nakal dari sorot matanya. Namun wajah itu tiba-tiba kembali gelisah ketika aku
suruh duduk di tempatku. Lalu secara tiba-tiba, Anton kembali mengambil tasnya,
kemudian berlari sekencang-kencangnya meninggalkan aku dan seisi kelas. Entah
mau kabur ke mana anak itu.
"Anton!
Anton! Mau ke mana kamu?" teriaku berusaha mencegahnya, namun percuma.
Anak itu tak menggubris teriakanku. Dia terus berlari secepat yang dia bisa
hingga keluar pekarangan sekolah. Aku pun semakin penasaran, lalu segera
kuperintahkan murid-murid untuk bubar agar aku bisa berlari menyusul Anton.
Beberapa menit berlari, akhirnya aku berhasil menyusul anak itu dari jarak
sekitar 30 meter. Aku bisa melihat Anton berjalan sangat tergesa-gesa. Tadinya
aku ingin segera menjarainya dan bertanya langsung tentang tingkah nakalnya
pada Amir tadi. Namun tiba-tiba naluri keingintauanku mencegah. Akhirnya
kuputuskan untuk membuntutinya terus sampai ke rumah. Ternyata jarak sekolah
dengan rumahnya cukup jauh. Butuh waktu setengah jam berjalan cepat diselingi berlari
untuk sampai di rumahnya.
Sesampainya
di sekitar rumah Anton, aku sedikit termangu saat melihat kondisi rumah anak
itu. Hanya sebuah rumah kayu yang sangat sederhana, bahkan bisa dikatakan reot.
Aku berdiri di balik semak tak jauh dari rumah itu dan memperhatikan dari sana.
Di depan pintu, Anton berteriak keras, "Juan! Ayo buruan!"
Dari
dalam rumah keluar seorang bocah yang hanya memakai celana pendek lusuh sambil
menenteng beberapa buku. Tubuhnya sedikit lebih kecil daripada Anton. Kemudian
Anton buru-buru membuka pakaian sekolah dan sepatunya lalu menyerahkannya pada
bocah yang tadi dia panggil Juan itu. Juan pun bergegas memakai pakaian sekolah
dan sepatu yang disodorkan Anton. Lalu dengan sigap pula dia keluarkan
buku-buku dari dalam tas, kemudian memasukkan buku-buku yang tadi dia tenteng.
"Aku
berangkat, Bang. Gantian jaga Ibu ya," ujar Juan. Lalu bocah itu pun
berlari meninggalkan Anton.
Masyaallah,
rupanya inilah alasan Anton selalu berbuat nakal tiap menjelang jam bubaran
sekolah. Rupanya supaya dia diusir dari kelas dan bisa segera pulang agar
adiknya bisa bergantian memakai seragam, sepatu, dan tas sekolahnya. Terjawab
juga kenapa dia tadi kabur dari kelas. Rupanya karena tadi aku tidak
mengusirnya ketika dia bikin gaduh dan bahkan telah memukuli Amir. Oleh sebab
itu, dia terpaksa kabur. Rupanya sang adik memang menunggu kepulangannya segera
supaya tidak terlambat sekolah. Hanya saja, kenapa harus dengan cara berbuat
nakal? Masih jadi tanda tanya besar di kepalaku. Anak secerdas Anton pasti
memiliki alasannya sendiri mengapa dia sampai berbuat demikian.
Setelah
Juan pergi, Anton segera masuk rumah. Aku yang makin penasaran pada kehidupan
anak yang sebenarnya sangat cerdas itu mendekat ke rumah dengan sangat
hati-hati. Aku memasuki pekarangan dan terus mendekat ke pintu rumah. Aku
berdiri diam di depan pintu yang terkuak setengah itu. Dari dalam, aku dengar
obrolan Anton dengan seorang perempuan yang aku yakin adalah ibunya.
"Kau
diusir gurumu lagi hari ini?" tanya perempuan itu. Namun tak terdengar ada
balasan. Aku coba mengintip ke dalam karena semakin penasaran. Terlihat Anton
sedang menyuapi seorang perempuan yang terbaring di sebuah balai-balai bambu
dengan posisi kepala agak ditinggikan. Rupanya perempuan itu sedang sakit.
Beberapa menit kemudian, Anton akhirnya bersuara.
"Bu,
aku berangkat dulu ya. Assalamualaikum," terdengar suara Anton berpamitan.
Benar ternyata perempuan itu ibunya. Aku pun segera menyingkir ke samping
rumah. Anton kembali berjalan tergesa-gesa meninggalkan rumah dengan satu
tangannya menenteng sebuah rantang. Aku ikuti terus langkah anak itu menyusuri
jalan-jalan setapak hingga akhirnya tiba di area persawahan.
"Ayah,
ini makan siangnya. Aku tinggal di sini ya, sekalian aku pamit mau ke
pasar," ujar Anton setengah berteriak seraya menaruh rantang di salah satu
pematang sawah. Ayah Anton yang sedang mencangkul pun menghentikan
pekerjaannya.
"Iya,
Nak. Taruh aja di sana. Kau mau langsung ke pasarnya?" tanya Ayah Anton
sambil putar badan dan langsung kembali berlari meninggalkan area persawahan.
"Ya
sudah, hati-hati pulang menjelang asar ya," teriak Ayah Anton.
"Baik,
Yah," jawab Anton juga dengan berteriak sambil terus berlari kecil. Aku
pun kembali membuntuti Anton dari jarak agak jauh, takut anak cerdas itu
tiba-tiba curiga dan merasa ada orang jahat yang tengah membuntutinya.
Sebagaimana obrolannya dengan sang ayah tadi, rupanya Anton memang menuju
pasar. Di pasar, dia mengambil satu pak plastik kresek di sebuah kios, lalu dia
berkeliling pasar menawarkan kresek itu kepada ibu-ibu yang sedang berbelanja.
Beberapa ibu tampak membeli kresek yang ditawarkan Anton, beberapa juga ada
yang meminta Anton membantu menenteng belanjaan mereka sampai ke pangkalan ojek
atau angkutan pedesaan. Anton terlihat sangat gembira tiap menerima upah Rp.
1.000,- Rp. 2.000,- sebagai bayaran atas jasanya itu.
Sampai
di situ, mataku mulai terasa panas. Hatiku pilu setelah mengetahui siapa Anton
sebenarnya. Ternyata dia adalah seorang pejuang kehidupan yang amat tangguh.
Aku pun melangkah meninggalkan pasar itu dengan perasaan campur aduk tak
menentu.
Keesokan
harinya, Anton tak masuk sekolah. Membuat perasaanku tiba-tiba gelisah karena
tak ada kabar sama sekali tentang dia. Padahal hari ini aku ingin ngobrol
banyak dengan bocah tangguh itu, sekalian ingin memberinya bantuan uang tunai
semampuku. Sepulang sekolah, aku putuskan untuk menemui Anton di rumahnya. Aku
sangat ingin bicara dengan kedua orang tua anak yang mengagumkan itu.
"Pak,
Bu, perkenalkan saya guru di sekolahnya Anton," ujarku memperkenalkan diri
di rumah. Ayah dan Ibu Anton memaksakan senyum setelah mengetahui aku adalah
guru anak mereka.
"Maaf,
Pak Guru. Apakah Anton ada berbuat salah pada Pak Guru?" tanya sang ayah.
"Oh,
tidak kok, Pak. Saya hanya ingin bertanya tentang Anton," jawabku
meluruskan.
"Soal
apa, Pak Guru?" tanya ayah Anton khawatir.
Lalu
kuceritakanlah semua tentang Anton, sebagaimana yang selama ini diceritakan
para guru di sekolah padaku. Juga kueritakan tentang pengalaman ku
membuntutinya kemarin. Ayah Anton mendesah pelan mendengar cerita ini.
"Pak
Guru, pendidikan kami rendah, keadaan kami juga sangat miskin. Sebenarnya kami
tak mampu menyekolahkan anak-anak. Tapi kami lihat sepertinya Anton itu anak
yang cerdas. Makanya kami ingin dia terus bersekolah," jelas ayah Anton.
"Sejak
kelas 1, dia selalu juara. Kami ingin dia terus sekolah. Tapi, kami tak mampu.
Ibu harus menanak di sawah supaya kami bisa makan. Dan Anton di kelas 6 bulan
yang lalu, Anton minta saya untuk menyekolahkan Juan. Terlambat 3 tahun itu
lebih baik daripada tidak bersekolah sama sekali, begitu katanya. Awalnya saya
bilang saya tak mampu, walau sekedar membeli seragam sekalipun, belum lagi soal
siapa yang akan menjaga Ibu mereka jika Juan juga sekolah. Tapi Anton tetap
ngotot agar adiknya harus disekolahkan. Akhirnya Juan saya sekolahkan di SD
yang belajarnya siang sampai sore supaya bisa bergantian saja seragam dan
tasnya. Anaknya kalian pula, makanya bergantian terus. Ibu saya juga digalaukan
itu. Anton, bulan terakhir ini Pak, ya dia memang sengaja berbuat nakal supaya
diusir, Pak," jawabnya kemudian.
"Kenapa
begitu, Pak?" tanyaku heran.
"Jadi
dia pernah berjanji tidak akan bolos sekolah dengan alasan Juan harus
bersekolah. Sebab saya yang minta begitu. Kalau dia terpaksa bolos karena harus
berbagi seragam dengan adiknya, lebih baik Juan tidak usah sekolah sekalian.
Jadi dia sengaja berbuat nakal supaya diusir, supaya bisa pulang lebih cepat.
Begitu, dia tidak berbohong pada saya. Dia pulang cepat bukan karena bolos,
tapi karena diusir guru. Kami memang selalu mengajarkannya untuk tidak boleh
bohong. Apapun alasannya. Selama ini kami pun tak sampai hati untuk bertanya
kenapa dia sampai sering diusir guru. Sebab kami berpikir pasti itu semua
gara-gara kami. Mungkin karena seragamnya yang kotor atau bau, mungkin juga
karena buku pelajarannya yang tidak lengkap. Entahlah, yang jelas kami tidak
tega menanyakannya. Tapi kami sungguh tak menyangka dia sering diusir ternyata
karena berbuat nakal," jelasnya panjang lebar. Ayah Anton mulai kesulitan
menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Dia senang putranya
memang tidak pernah berbohong, tapi sekaligus sedih karena harus menempuh cara
seperti itu supaya adiknya tetap bisa bersekolah sekaligus dia tidak membohi
orang tuanya.
"Iya,
Pak. Mungkin hanya sekali kemarin dia berbohong. Kemarin dia berbuat nakal,
tapi saya tidak mengusirnya. Akhirnya dia kabur pulang. Makanya saya buntuti,
dan sekarang saya jadi paham kondisi yang sebenarnya. Itu berarti kesalahan
saya. Gara-gara sayalah Anton terpaksa berbohong," ujarku.
Jika
tak ada aku, mungkin air mata mereka sudah berderai.
"Ngomong-ngomong,
di mana Anton?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
Ayah
Anton tampak terkejut begitu mendengar pertanyaanku.
"Pak
Guru, belum tahu?" tanyanya ragu.
"Ada
apa, Pak?" tanyaku semakin penasaran.
"Kemarin
di pasar, ada yang meneriakinya copet. Dia pun dihakimi massa hingga terluka
parah. Untungnya banyak pedagang pasar yang mengenali Anton, jadi...,"
Ayah Anton bergetar mendengar cerita itu.
"Anton...
dia... dia di rumah sakit Kabupaten, Pak. Kami... kami yang mengurusnya,"
ucapnya lirih penuh rasa bersalah.
Aku
teringat kejadian di pasar kemarin. Harusnya aku temui Anton, memberinya uang
lalu mengantarnya pulang, bukan meninggalkannya begitu saja hingga dia
dikeroyok massa pun aku tak tahu. Aku mengutuk dan menyesali diri sendiri.
Menyesal atas kejadian ini, dan lebih menyesal lagi karena selama ini pihak
sekolah abai terhadap kehidupan Anton yang begitu memprihatinkan.
"Han...
yang... yang aku... aku tak... ikutan... bantu... Anton... dan... antunya, Pak.
Saya yang akan menjenguk Anton. Saya akan antar pulang. Mohon, Bu, saya dengan
doa," ucapku sungguh-sungguh.
Pasangan
suami istri itu makin haru. Air mata pun tak mampu lagi mereka bendung. Singkat
waktu, aku berada di samping Anton yang masih terbaring tak sadarkan diri.
Wajahnya lebam dan penuh luka memar. Mesin monitor pasien menampilkan detak
jantungnya.
Aku...
Han... kemudian mata Anton berkedip-kedip lalu terbuka perlahan. Dia pun
melirik ke arahku.
"Pak
Guru?" terdengar suaranya lemah.
Aku
mendekat lalu mengusap pelan rambutnya.
"Anton,
di rumah sakit. Tapi Insyaallah tak lama lagi bisa pulang dan Anton bisa
kembali sekolah. Begitu juga dengan Juan. Bapak sudah belikan dia seragam,
sepatu, dan tas baru," ucapku sambil tersenyum.
Malaikat
kecil itu membalas senyumku dengan kedua bola mata berkaca-kacanya. Beban yang
selama ini terlihat dari kedua mata kecilnya itu seketika lenyap. Ke depannya,
semoga tidak ada lagi drama kenakalan atau lari-larian demi bertukar
perlengkapan sekolah dengan adiknya.
Dari
kisah ini, kita belajar bahwa jangan pernah menilai seseorang dari luarnya
saja. Apalagi jika tiba-tiba orang tersebut berubah sikap tidak seperti
biasanya.
Posting Komentar