Clary, teror di balik dinding rumah
Penulis:
Zhizie Finix
Dia
kembali datang dengan tertatih. Kutebak, pasti ada anggota tubuhnya yang lebam.
Atau jangan-jangan kaki gadis itu yang terluka sekarang. Kuamati saja ia
berjalan menghampiriku di bangku kami.
"Pagi,
Clary!" sapaku setelah ia mendudukan tubuhnya di sebelahku. Kuperhatikan,
lebam yang kemarin membiru di lengan dan pipinya kini berangsur sembuh.
"Pagi
juga, Bel," sahutnya, sambil mengeluarkan buku-buku pelajaran dari tas
kain yang dibawanya.
"Sebentar
lagi kita akan ujian akhir sekolah. Kamu sudah pikirkan mau lanjut SMA di
mana?" aku sengaja memancing percakapan. Ingin tahu reaksinya mengenai
ini.
"Aku
tidak tahu, Bella. Kemungkinan aku tidak akan melanjutkan pendidikan,"
kemurungan sangat jelas tampak dari raut cantiknya.
"Clary!
Sudah tiga tahun kita bersahabat di sekolah, kenapa, sih, kamu tidak mau
ceritakan sedikit pun apa yang sebenarnya terjadi padamu? Setiap kali kutanya,
pasti kamu menghindar untuk tidak menjawabnya. Luka-luka yang ada di sekujur
tubuhmu juga apa penyebabnya? Tidak usah mengarang alasan kamu terjatuh saat
pergi ke sekolah. Karena tidak mungkin terjadi. Luka-lukamu itu juga
kelihatannya bekas pukulan atau sebagainya," cecarku. Clary menyembunyikan
wajahnya dibalik buku, berusaha agar aku tak melihat ekspresinya. Tak lama,
bahunya berguncang, tangisnya pun pecah. Langsung saja kupeluk sahabatku itu.
"Aku
minta maaf, Bel! Selama ini aku tidak mau cerita padamu karena aku takut. Aku
takut dengan ancaman orang itu. Aku takut, Bel!" isaknya dipundakku. Aku
hanya menenangkannya dengan mengusap-usap lembut punggungnya. Kulirik arloji di
tanganku, guru akan masuk masih sepuluh menit lagi. Tak apalah bila Clary
menangis menumpahkan segala beban di hatinya.
"Kamu
takut pada siapa? Kutebak, semua luka di tubuhmu akibat orang tuamu yang
menyakitimu, kan? Karena yang kutahu, kamu anak yang introvert, kurang bisa
bersosialisasi, dan lebih suka menyendiri." Clarissa mengangguk.
"Oh,
astaga! Kamu anak broken home ternyata! Siapa yang melakukan ini, Clary?
Ayahmu? Kenapa dia memukulimu? Ayo! Ceritakan padaku! Aku pasti akan
membantumu. Jangan takut! Kamu tidak boleh takut bercerita tentang hal
ini."
"Aku
mau cerita. Tapi, kamu janji jangan kasih tahu siapa-siapa. Termasuk jangan
kasih tahu Ibu Marisa guru BK," Clary menatapku.
"Aku
tidak bisa janji, Clary! Karena kalau menurutku ceritamu itu keterlaluan, aku
akan langsung beri tahu Ibu Marisa."
"Itu
yang buat aku dari dulu tidak mau bercerita padamu, Bel," ucapnya, lirih.
Ia lalu kembali memalingkan wajahnya. Tak mau menatapku sampai kami pulang
sekolah. Namun, tekadku kali ini sudah bulat untuk membantunya. Kalau memang
Clarissa takut bercerita denganku, akan kuikuti saja ia pulang ke rumahnya.
Cukup
jauh aku berjalan kaki membuntutinya. Rupanya rumah gadis itu jauh dari
sekolah. Berkali-kali aku menyeka peluh dari keningku, namun, itu tak
menyurutkan semangatku untuk mengikuti gadis bernama lengkap Clarissa Freya
itu. Sekitar setengah jam berjalan, Clary terlihat memasuki sebuah rumah yang
cukup mewah di pinggiran kota. Ini cukup mengejutkan. Sebab, kupikir melihat
dari luka-luka yang selama ini dialaminya akibat kekerasan yang didapatkannya
dari orang tua berekonomi rendah. Akan tetapi, tebakanku salah. Lantas,
bagaimana caranya aku masuk ke pekarangan rumahnya jika penjagaan di rumah itu
amat ketat? Hmm, aku berpura-pura saja berkunjung. Aku, kan, teman Clary di
sekolah.
"Maaf,
Neng! Tapi nyonya rumah melarang Non Clary kedatangan tamu," kata satpam
yang berjaga di depan rumah, setelah aku memberitahukan maksud dan tujuanku.
"Tapi,
Pak, ini penting sekali. Sebentar lagi kami akan ujian, dan Clary meninggalkan
buku latihannya di kelas. Karena saya tidak mau teman saya tidak bisa belajar,
saya antarkan saja langsung. Please, Pak! Izinkan saya masuk!" aku
memasang tampang memelas seperti anak kucing. Satpam itu pun membukakan pagar.
"Tapi
saya harap, Nona tidak berbuat yang aneh-aneh. Saya sengaja memperingatkan ini
karena saya dibayar untuk itu." Sebetulnya aku tidak memahami perkataan
Pak Satpam barusan. Tetapi aku mengangguk saja agar diizinkan masuk.
Jantungku
sontak berdebar-debar, akan segera mengetahui mengapa selama ini Clary memiliki
lebam di tubuhnya. Tiga tahun kami di SMP, selama itu pula aku melihatnya.
Namun, aku pun baru mempunyai keberanian untuk menyelidikinya. Tiba di pintu
depan yang sedikit terbuka, aku seketika mendengar suara isakkan Clarissa, dan
teriakan seorang wanita.
"Kenapa
hari ini terlambat pulang lagi, hah?"
"Maaf,
Ma! Clary..."
"Ah!
Mama tidak mau dengar alasan! Kamu, ya, setiap hari Mama didik, tetap saja
tidak berubah. Dasar tak berguna!" teriakan wanita itu diiringi dengan
suara pukulan. Pasti Clarissa sedang dipukul oleh Ibunya sendiri.
"Mama
itu sengaja didik kamu biar jadi perempuan yang kuat! Kamu tidak boleh lemah
begini! Hentikan air matamu! Cengeng itu lambang kelemahan! Perempuan itu harus
kuat! Kita tidak boleh lemah!" setiap kalimat yang diucapkan wanita itu,
dibarengi dengan sebuah pukulan.
"Mama
sudah sering bilang, kan? Mama waktu kecil juga diperlakukan seperti ini sama
Kakekmu. Mama juga dipukuli, ditendang, disakiti setiap hari. Karena menurut
Kakekmu, perempuan itu lemah! Nenekmu, Mama, dan semua saudari-saudari Mama
diperlakukan seperti ini setiap saat. Karena apa? Karena menurut laki-laki,
perempuan itu lemah! Tidak bisa melawan! Bisanya hanya menangis, menangis, dan
menangis! Untuk itu Mama didik kamu biar jadi perempuan yang tidak lemah! Kamu
tidak boleh menangis! Kalau kamu menunjukkan sisi kelemahanmu di depan
laki-laki, mereka akan lebih kejam memperlakukan kamu! Seperti Papa kamu
bertahun-tahun lalu. Dia menyiksa Mama dan kamu karena dia pikir kita lemah!
Jadi, ayo tunjukan kalau kamu tidak lemah! Jangan menangis...!!!"
"Cukup,
Tante!!!" tak tahan lagi mendengar teriakan wanita itu, aku menerobos
masuk. Clarissa tampak bersimpuh di hadapan Ibunya dengan berderai air mata,
sedang Ibunya yang murka duduk di sofa sambil memegang cambuk di tangan kanan.
"Siapa
kamu?"
"Saya
Bella, sahabatnya Clary di sekolah, Tante. Yang barusan Tante lakukan sama
Clary betul-betul keterlaluan! Tidak sepantasnya seorang Ibu menyakiti anaknya
seperti itu," ucapku, berang.
"Heh,
anak kecil! Tahu apa kamu? Saya Ibunya Clary! Terserah saya mau mendidik anak
saya seperti apa."
"Dari
apa yang sering saya baca, Tante sepertinya perlu ke psikolog atau psikiater!
Tante itu trauma di masa lalu. Makanya Tante memperlakukan Clary seperti yang
Tante dapatkan dulu!"
"Heh,
kamu anak SMP tahu apa tentang trauma? Jangan sok menasihati orangtua! Kamu mau
saya didik juga seperti Clary?" Wanita itu lalu mengangkat cambuknya,
berniat menyakiti aku juga.
Untung
saja kejadian yang kurekam tadi, segera kukirimkan pada Ibu Marisa. Beliau lalu
segera datang dan menghentikan Ibunya Clarissa yang akan memukulku. Ibu Marisa
juga tidak datang sendiri. Beberapa orang polisi pun turut mengamankan wanita
psikopat itu. Dan aku langsung memeluk Clary yang masih menangis terisak.
Luka-luka baru kini bermunculan di sekujur tubuhnya.
Sejak
kejadian hari itu, kini Clary dan Ibunya harus dipisahkan sementara. Clary
mendapatkan perawatan di rumah sakit akibat luka di seluruh tubuhnya yang
kurang lebih selama lima belas tahun ia dapatkan. Sedang Ibunya harus menjalani
rehabilitasi. Yang kudengar katanya wanita itu kejiwaannya terganggu karena
trauma masa kecil. Hal itu yang membuatnya ingin memukuli Clary terus-menerus.
Satpam di rumah mereka juga dibayar mahal oleh wanita itu agar tak melaporkan
tindakannya ke siapa pun.
Selesai.
Rumah
F29 Family, 26 Juli 2024